beroda tanpa kaki karena sudah terguling tetapi sanggup menghempas debu dan melaju. lalu terus, terus, terus tiada arah dan tenaga. tetapi berguling terus, terus, terus mengikuti arus.
ia tak bisa begini terus. setidaknya ia harus ada tenaga yang dapat berguna juga, tak hanya beban. setali tiga uang, tetapi malah merusak relasi antara penumpang kereta. bahkan yang ia idamkan pun merengut, memandangnya dengan jijik.
"diam dan tidak diam sama-sama salah"
hanya nila setitik, rusak kencana serusak-rusaknya. bahkan dalam terhenti pun hancur.
memang jiwa vandal, anarki dalam pikir dan perbuatan, tak berbuah manis, langsung busuk bahkan dalam niat. berbau amis nan terbakar, asapnya menghalangi pemandangan dan tak sanggup untuk melihat dimana untuk bertapak. sinyal ke ponselmu tak dapat digapai, bahkan untuk mengabari kau tidak bisa melihat layarnya, buram, namun cahaya semu itu tampak nyata yang menggoda.
tinggal sebentar, tertinggal sedikit, terbelakang, maka dunia ini dengan sekejap menjadi ceria. tanpa caci orang-orang yang tak mengerti, tanpa suara orang yang menangis.
dan ia tetap sendiri. mengurung diri dalam ruang temaram dingin ditemani lampu filamen yang akan basi. warna kuning-jingga yang menciptakan hangat, namun ia tetap menggigil. memeluk lutut karena tak ada lagi raga manusia lain di sekitarnya. ia menangis, mengeluarkan air mata dengan sengaja untuk menutup dahaga akan ceritanya.
terus terang, walau memang senyap, menegak hitam dengan penuh. setidaknya penuh, daripada bening, transparan, kosong tanpa rasa. hanya meninggalkan hampa. karena di gelap, terang walau seberkas, sebesar lubang jarum, ia jauh menerobos kelam, membunuh bayang.
cerita. dalam hati ia langsung tersenyum. tapi langsung ia muntahkan isi perutnya. bagai gelas yang langsung diisi air panas. tak seimbang keadaan di dalam dan luar, tubuhnya rusak. tapi tak mengapa setidaknya ia dapat menampung walau sedikit, walau ia rusak. dan tetap berguna setidaknya untuk dirinya sendiri.
bukan ia tak cinta dirinya. tapi ia tak suka dikala ia menyukai. ia pernah terlalu gembira sehingga ia jatuh sebenar-benarnya kenyataan.
akhirnya ia biarkan dirinya tenggelam dalam sedih. setidaknya ia berharap seperti yang sebelumnya, terjadi berlawanan arah. ia mengharap bahagia.
31 Maret 2019
follow
follow
Minggu, 31 Maret 2019
Sabtu, 30 Maret 2019
I : Log
Kemana mah kemana aja tapi dengan siapa masih entah.
Mau jalan sendiri atau duduk berdua pasti kau tahu yang mana yang nyaman.
Gelak tawa di kursi belakang, saya yang pakai helm hanya bisa merasakan hawa bahagia. Dan ia menyeruak masuk menghangatkan tubuh.
Kau di kursi samping, senyumanmu lebih dingin daripada ac yang meniup mataku, yang bahkan tak mampu membuat saya mengeluarkan air mata. Tatapanmu sayu, membuatku melayu mau bersandar. Setir saya yang pegang tapi saya ingin kau mengendalikanku.
Perempuan adalah binatang.
Di dalam hutan, cuma sisa-sisa yang kau temui. Bahagia dan tak tergapai bila sudah bertemu. Awas diterkam.
Candaan tak jelas, memberi penjelasan bahwa kau bahagia. Saya bahagia bila kau bahagia. Tidak peduli mau berkendara atau jalan kaki asal kau ada di dekatku.
Bau asap yang lengket denganku tak terlalu kau hirau. Demikian saja saya senang. Kau menerima. Kemudian membuang. Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
Bangsat memang
Selalu saja menikmati hidup yang sudah lewat.
Karena yang sedang dituju adalah awang-awang. Asa dalam masa masih terjaga dan tersimpan, sampai kau datang bila masih ingin bersama.
Tolong saya.
II : log
Saya tidak mengetahui mati. Hanya menikmati.
Binatang hidup atau karkasnya, sama-sama indah.
Perempuan adalah binatang.
Kau hidup atau mati?
Tolong jangan rusak saya.
Saya ingin hidup tenang. Walau hajatku ada padamu, tapi
saya ingin hidup tenang. Walau tanpamu.
Nanti hasrat yang kudus, murni untuk menjaga, hanya
merusak, saya dan kau.
Perempuan adalah binatang.
Sayang sekali, saya terlanjur sayang.
30 Maret 2019
Kemana mah kemana aja tapi dengan siapa masih entah.
Mau jalan sendiri atau duduk berdua pasti kau tahu yang mana yang nyaman.
Gelak tawa di kursi belakang, saya yang pakai helm hanya bisa merasakan hawa bahagia. Dan ia menyeruak masuk menghangatkan tubuh.
Kau di kursi samping, senyumanmu lebih dingin daripada ac yang meniup mataku, yang bahkan tak mampu membuat saya mengeluarkan air mata. Tatapanmu sayu, membuatku melayu mau bersandar. Setir saya yang pegang tapi saya ingin kau mengendalikanku.
Perempuan adalah binatang.
Di dalam hutan, cuma sisa-sisa yang kau temui. Bahagia dan tak tergapai bila sudah bertemu. Awas diterkam.
Candaan tak jelas, memberi penjelasan bahwa kau bahagia. Saya bahagia bila kau bahagia. Tidak peduli mau berkendara atau jalan kaki asal kau ada di dekatku.
Bau asap yang lengket denganku tak terlalu kau hirau. Demikian saja saya senang. Kau menerima. Kemudian membuang. Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
Bangsat memang
Selalu saja menikmati hidup yang sudah lewat.
Karena yang sedang dituju adalah awang-awang. Asa dalam masa masih terjaga dan tersimpan, sampai kau datang bila masih ingin bersama.
Tolong saya.
II : log
Saya tidak mengetahui mati. Hanya menikmati.
Binatang hidup atau karkasnya, sama-sama indah.
Perempuan adalah binatang.
Kau hidup atau mati?
Tolong jangan rusak saya.
Saya ingin hidup tenang. Walau hajatku ada padamu, tapi
saya ingin hidup tenang. Walau tanpamu.
Nanti hasrat yang kudus, murni untuk menjaga, hanya
merusak, saya dan kau.
Perempuan adalah binatang.
Sayang sekali, saya terlanjur sayang.
30 Maret 2019
Kamis, 14 Maret 2019
Bak peribahasa;
siang jadi angan, malam jadi mimpi.
Berbeda, karena terang atau temaram
tetap kau bunga tidur, merambat
di sanubari utopis ini.
Merambat, membunuh perlahan.
Merayap, membuat karam.
Sejuk, menusuk.
tetap kau bunga tidur, tumbuh
akar merambat menutup insan
dan kedua mata.
14 Maret 2019
siang jadi angan, malam jadi mimpi.
Berbeda, karena terang atau temaram
tetap kau bunga tidur, merambat
di sanubari utopis ini.
Merambat, membunuh perlahan.
Merayap, membuat karam.
Sejuk, menusuk.
tetap kau bunga tidur, tumbuh
akar merambat menutup insan
dan kedua mata.
14 Maret 2019
Kawan?
halo kawan beberapa saran kalian itu sampah tak mau orang menerimanya.
halo kawan kritik itu sampah.
halo kawan apakah kau kawan?
dengar dong kawan.
eh kau tak mendengar.
halo kawan apakah kau kawan?
11 Maret 2019
halo kawan kritik itu sampah.
halo kawan apakah kau kawan?
dengar dong kawan.
eh kau tak mendengar.
halo kawan apakah kau kawan?
11 Maret 2019
aaaaaaaaaaa
Terbujur kaki terpecah arang karena kau tak jua bersua sehingga semua hampa mati tiada dan semua sia-sia lalu terhempas dan terbakar di atas atap seng di siang hari yang berdecit berderau bergeretak karena memuai walakin hujan karena rasa senantiasa membara tak padam redam dihempas ditiup disiram Ia tak kunjung santai.
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
10 Maret 2019
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
10 Maret 2019
Jumat, 08 Maret 2019
Hilang dalam Genggaman
Palingan wajah bermakna dusta
Apa daya aku hanya bisa terpesona
Walau rohani menolak cara
Apa daya pikiran telah sirna
Sayang karena telah kusayang
Pernah pula kau dalam genggaman
Tiada tersirat maupun tersurat
Apa daya pikiran telah sirna
"Bila sampai waktuku..." ucap dia
Apa daya usaha tanpa hasil
Sejauh apapun kucoba tarik kembali
Apa daya pikiran telah sirna
"Tidak juga kau..." kuhina
Apa daya hati telah buta
Walau batin menjerit meraung
Apa daya pikiran telah sirna
Apa daya aku hanya bisa terpesona
Walau rohani menolak cara
Apa daya pikiran telah sirna
Sayang karena telah kusayang
Pernah pula kau dalam genggaman
Tiada tersirat maupun tersurat
Apa daya pikiran telah sirna
"Bila sampai waktuku..." ucap dia
Apa daya usaha tanpa hasil
Sejauh apapun kucoba tarik kembali
Apa daya pikiran telah sirna
"Tidak juga kau..." kuhina
Apa daya hati telah buta
Walau batin menjerit meraung
Apa daya pikiran telah sirna
Perbedaan yang menjadi cacian
Hubungan yang menjadi cacian
Pemikiran yang menjadi cacian
Tiada orang peduli selain dirinya
Kecuali dia
Telah buta oleh suatu
Kau tahu apa
Namun tiada orang peduli
Lantas, apa arti peduli
Sebatas omong kosong hampa
Sebagai peresmian atas dusta
Tiada peduli selain dirinya
Peduli nanti, nanti peduli
Bertanya "apa bedanya?"
Tiada respon bagai rutinitas
Karena tak ada yang peduli
Hubungan yang menjadi cacian
Pemikiran yang menjadi cacian
Tiada orang peduli selain dirinya
Kecuali dia
Telah buta oleh suatu
Kau tahu apa
Namun tiada orang peduli
Lantas, apa arti peduli
Sebatas omong kosong hampa
Sebagai peresmian atas dusta
Tiada peduli selain dirinya
Peduli nanti, nanti peduli
Bertanya "apa bedanya?"
Tiada respon bagai rutinitas
Karena tak ada yang peduli
Makassar, 29 Desember 2015
Satu hal menyita waktu
Entah berpikir, entah melakukan
"Lakukanlah!" Teriak mereka tanpa alasan
Namun kita tahu mengapa
Satu hal menyita waktu
Pemikir tahu betul akan itu
Pelantang suara, mereka tak tahu
Berpikir itu mematikan
Satu hal menyita waktu
Entah berpikir, entah bertindak
Tindakan memberi pasti
Pikiran memberi mati
Tindakan, baik atau buruk
Baik langsung maupun tidak
Daripada timbul kemunafikan nyata
Karena, berpikir itu mematikan
Makassar, 30 Desember 2015
Entah berpikir, entah melakukan
"Lakukanlah!" Teriak mereka tanpa alasan
Namun kita tahu mengapa
Satu hal menyita waktu
Pemikir tahu betul akan itu
Pelantang suara, mereka tak tahu
Berpikir itu mematikan
Satu hal menyita waktu
Entah berpikir, entah bertindak
Tindakan memberi pasti
Pikiran memberi mati
Tindakan, baik atau buruk
Baik langsung maupun tidak
Daripada timbul kemunafikan nyata
Karena, berpikir itu mematikan
Makassar, 30 Desember 2015
Hijau, satu warna, daun
Berkumpul menjadi indah
Di ranting, dahan, hutan,
Walau hanya sewarna, semakna
Daripada pelangi
Tujuh warna, elok mempesona
Namun sementara, ketika
Saat langit ingin menangis
Bak musuh dalam selimut
Tiada dusta membutakan makna
Hanya ketiadaan makna
Menjadi sirna, hampa, sampai
Tiba waktunya
Makassar, 4 Februari 2016
Berkumpul menjadi indah
Di ranting, dahan, hutan,
Walau hanya sewarna, semakna
Daripada pelangi
Tujuh warna, elok mempesona
Namun sementara, ketika
Saat langit ingin menangis
Bak musuh dalam selimut
Tiada dusta membutakan makna
Hanya ketiadaan makna
Menjadi sirna, hampa, sampai
Tiba waktunya
Makassar, 4 Februari 2016
Tiada arti
Bila mati tanpa makna
Tiada makna tanpa cinta
Tewas dalam kesendirian
Apa benar ini yang kurasa
Kendati hati bicara
Stigma dalam kepala
Meragukan perasaan ini padanya
Siaga dalam keterpurukan
Apalah saya mahkluk rendahan
Punya hati namun mati
Tanpa sentuhan kasih sayang
Bilamana didiamkan
Perempuan adalah binatang
Susah sekali untuk disayang
Padahal mereka dicipta
Untuk saya
Untuk saya, sebagai tanda rasa
Bila mati tanpa makna
Tiada makna tanpa cinta
Tewas dalam kesendirian
Apa benar ini yang kurasa
Kendati hati bicara
Stigma dalam kepala
Meragukan perasaan ini padanya
Siaga dalam keterpurukan
Apalah saya mahkluk rendahan
Punya hati namun mati
Tanpa sentuhan kasih sayang
Bilamana didiamkan
Perempuan adalah binatang
Susah sekali untuk disayang
Padahal mereka dicipta
Untuk saya
Untuk saya, sebagai tanda rasa
untuk yang belum dan sudah kucinta
terkhusus pada mahkluk dalam hati, yaitu
Mama dan adik-adik tersayang
Makassar, 22 Februari 2016
Mama dan adik-adik tersayang
Makassar, 22 Februari 2016
Tali Prasangka
Menarik kesimpulan
Macam menarik simpul tali
Simpul hidup pun bebas
Simpul mati tercekik pasti
Deduksi tak membuahkan
Ah apalah guna prasangka
Bilamana hanya membuat kita sengsara
Hidup yang berbelit
Ataupun yang mengikat
Tergantung bagaimana
Caramu memasang tali
Macam menarik simpul tali
Simpul hidup pun bebas
Simpul mati tercekik pasti
Deduksi tak membuahkan
Ah apalah guna prasangka
Bilamana hanya membuat kita sengsara
Hidup yang berbelit
Ataupun yang mengikat
Tergantung bagaimana
Caramu memasang tali
Makassar, 12 Maret 2016
Untuk harapan,
Bukannya menjadi sebercak cahaya dalam kegelapan. Kau menjadi secangkir espresso yang terpaksa kusimpan dalam mulut sebelum kuminum dalam satu tegukan. Hitam dirimu kembali menggelapkan hati, pahit dirimu membuatku berkata tidak pada dunia.
Dan hanya masokis tahan tusuk yang berani bertahan denganmu, wahai harapan
Makassar, 12 Maret 2016. Saat berharap masih saya harapkan. Saat berharap masih membunuh. Saat saya belum sadar, berharap kudu selow
Bukannya menjadi sebercak cahaya dalam kegelapan. Kau menjadi secangkir espresso yang terpaksa kusimpan dalam mulut sebelum kuminum dalam satu tegukan. Hitam dirimu kembali menggelapkan hati, pahit dirimu membuatku berkata tidak pada dunia.
Dan hanya masokis tahan tusuk yang berani bertahan denganmu, wahai harapan
Makassar, 12 Maret 2016. Saat berharap masih saya harapkan. Saat berharap masih membunuh. Saat saya belum sadar, berharap kudu selow
Terperosok dalam rayuan
Bukan berarti tak bisa kembali
Berdiri diatas kaki
Tegap menggendong badan dan pikiran
Ideologimu hanya satu-satunya
Gaib rupanya, di dalam kepalamu
Melayangkan pandangan pada dunia
Apa guna, gaib rupanya
Ayo! Jangan berdiam diri
Walau kau sendiri, meratapi,
Jangan congor! Kemarin telah tiada
Hari esok pun menanti
Namun hati-hatilah berbicara
Sanubari orang bisa berkata
Lain daripada kau, aturan
Bisa membuatmu kembali terperosok
Dan kau kalah, di khalayak manusia
Kawan kau lengah, kau lalai
Hidup tak semudah bicara
Karena mulut dijaga norma
Makassar, 13 Maret 2016
Bukan berarti tak bisa kembali
Berdiri diatas kaki
Tegap menggendong badan dan pikiran
Ideologimu hanya satu-satunya
Gaib rupanya, di dalam kepalamu
Melayangkan pandangan pada dunia
Apa guna, gaib rupanya
Ayo! Jangan berdiam diri
Walau kau sendiri, meratapi,
Jangan congor! Kemarin telah tiada
Hari esok pun menanti
Namun hati-hatilah berbicara
Sanubari orang bisa berkata
Lain daripada kau, aturan
Bisa membuatmu kembali terperosok
Dan kau kalah, di khalayak manusia
Kawan kau lengah, kau lalai
Hidup tak semudah bicara
Karena mulut dijaga norma
Makassar, 13 Maret 2016
Ha ha ha mantap benar, setan
Pecah lutut pecah hati
Bertepuk sebelah tangan
Cacat pula sebelah kaki
Cih! Perih di kaki tak seberapa
Perih di dada, itulah di dunia
Sakit paling mujarab yang ada
Untuk kebohongan yang kau lontar
Azab datang, azab menanti,
Apalah artinya, kita jua yang kena,
Tersiksa, melaini kejujuran
Berhati kepada paham kesalahan
Ya! Saatnya aku kembali
Pada jalannya yang diberkahi
Biar badan serasa nyeri, mati
Tiada kata terlambat untuk nanti
Kecuali, kau menekan
Sampai batas berhenti,
Dan melampauinya...
Menyesal pun tiada jua
Hahahahah biadab!
Setan benar kau wahai azab
Apakah kau sudah selesai
Atau baru mau dimulai?
Makassar, 17 Maret 2016
Pecah lutut pecah hati
Bertepuk sebelah tangan
Cacat pula sebelah kaki
Cih! Perih di kaki tak seberapa
Perih di dada, itulah di dunia
Sakit paling mujarab yang ada
Untuk kebohongan yang kau lontar
Azab datang, azab menanti,
Apalah artinya, kita jua yang kena,
Tersiksa, melaini kejujuran
Berhati kepada paham kesalahan
Ya! Saatnya aku kembali
Pada jalannya yang diberkahi
Biar badan serasa nyeri, mati
Tiada kata terlambat untuk nanti
Kecuali, kau menekan
Sampai batas berhenti,
Dan melampauinya...
Menyesal pun tiada jua
Hahahahah biadab!
Setan benar kau wahai azab
Apakah kau sudah selesai
Atau baru mau dimulai?
Makassar, 17 Maret 2016
Layak sesepuh dulu kala
Buah tebu tak langsung dikunyah
Maja tak langsung diludahkan
Bilamana kepahitan dunia menyelubungi
Janganlah berserah nyawa pada neraka
Janganlah berserah pada nikmat
Bilamana kepahitan dunia menyelubungi
Kelap kelip gemerlap obor listrik
Tak ada pada zaman sesepuh terdahulu
Buta hati, lalai terhadap kebajikan
Gelap mata akan kursi empuk duniawi
Manis tak langsung ditelan, sesepuh ucap
Pelaku silat lidah, para pencari muka,
Mereka manis, mereka apatis
Membual demi nafsu absis macan ompong
Berpangku tangan pula aku
Siapa daya diri aku
Diri berhati yang, tak besar, tak kecil
Namun hati ingin menggempur
Ingin hati berbuat
Vandal terhadap nikmat hidup
Terhadap lupa diri, pencari mati
Dan penabuh jantung hati
Buah tebu tak langsung dikunyah
Maja tak langsung diludahkan
Bilamana kepahitan dunia menyelubungi
Janganlah berserah nyawa pada neraka
Janganlah berserah pada nikmat
Bilamana kepahitan dunia menyelubungi
Kelap kelip gemerlap obor listrik
Tak ada pada zaman sesepuh terdahulu
Buta hati, lalai terhadap kebajikan
Gelap mata akan kursi empuk duniawi
Manis tak langsung ditelan, sesepuh ucap
Pelaku silat lidah, para pencari muka,
Mereka manis, mereka apatis
Membual demi nafsu absis macan ompong
Berpangku tangan pula aku
Siapa daya diri aku
Diri berhati yang, tak besar, tak kecil
Namun hati ingin menggempur
Ingin hati berbuat
Vandal terhadap nikmat hidup
Terhadap lupa diri, pencari mati
Dan penabuh jantung hati
Makassar, 23 Maret 2016
*Majas di bait pertama terinspirasi dari cerpen Juru Masak
Ratapi, tangisi nasib
Tiada pula dia berguna
Jantung pisang terlihat merah
Jantung hati sekarat yang kupunya
Diam-diam merasuk jiwa
Dalam akal rusak jua
Mendorong insan berbuat
Yang benar meskipun salah
Kelap-kelip gemerlap kota
Terperosok ke gorong-gorong
Yang gelap dan pengap
Aku jatuh terjerembab
Disana ku berlutut
Mampukah ku kembali
Menuju lampu-lampu jalan
Yang punya banyak kenangan
Disana jua ku berpikir
Mampukah ku mencari
Cahaya-cahaya kota tadi
Yang menyinari diriku dahulu
7 April 2016
Tiada pula dia berguna
Jantung pisang terlihat merah
Jantung hati sekarat yang kupunya
Diam-diam merasuk jiwa
Dalam akal rusak jua
Mendorong insan berbuat
Yang benar meskipun salah
Kelap-kelip gemerlap kota
Terperosok ke gorong-gorong
Yang gelap dan pengap
Aku jatuh terjerembab
Disana ku berlutut
Mampukah ku kembali
Menuju lampu-lampu jalan
Yang punya banyak kenangan
Disana jua ku berpikir
Mampukah ku mencari
Cahaya-cahaya kota tadi
Yang menyinari diriku dahulu
7 April 2016
Tak seberapa asam dalam organku
Hebat kurasa,
korosi dalam dada
Melahapku sekali telan
Bagai daging giling
Tak bertulang, tak kokoh
Bunuh aku dalam tidurku
Tak peduli, karena aku
Bila bangun, ku bunuh diri
Hanya untuk menjauh
Tidak bisa pula kumengerti
Apa guna arti tersiksa
Hanya demi ego dalam diri
Tak ada bagiku, sisa
Daripada apa yang pernah kuhasilkan
Makassar, 11 April 2016
Hebat kurasa,
korosi dalam dada
Melahapku sekali telan
Bagai daging giling
Tak bertulang, tak kokoh
Bunuh aku dalam tidurku
Tak peduli, karena aku
Bila bangun, ku bunuh diri
Hanya untuk menjauh
Tidak bisa pula kumengerti
Apa guna arti tersiksa
Hanya demi ego dalam diri
Tak ada bagiku, sisa
Daripada apa yang pernah kuhasilkan
Makassar, 11 April 2016
Bisikan tengah malam kepadaku
Mengapa jua tak kau lepaskan?
Mengapa jua tidak, kubalas
Buat apa, fundamental apa,
Yang mengharuskanku?
Dalam dingin diriku terbakar
Panas eksoterm yang memicu
Terbuai aku dalam kesejukan
Lantas aku,
Kaget dalam kemarau
Tapi, betulkah aku betul-betul
Berada memang dalam kesejukan?
Bukan lagi fana, namun semu,
Yakinkah aku, bahwa itu benar-benar
Suatu hal yang konkret, solid?
Terbuai dalam khayalan ternyata,
Itu yang kurasa, yang ku damba
Sayup-sayup kecemburuan,
Dentang-denting jam jiwa
Terus menggodaku
Bangsat,
Mati pula aku
17 April 2016
Mengapa jua tak kau lepaskan?
Mengapa jua tidak, kubalas
Buat apa, fundamental apa,
Yang mengharuskanku?
Dalam dingin diriku terbakar
Panas eksoterm yang memicu
Terbuai aku dalam kesejukan
Lantas aku,
Kaget dalam kemarau
Tapi, betulkah aku betul-betul
Berada memang dalam kesejukan?
Bukan lagi fana, namun semu,
Yakinkah aku, bahwa itu benar-benar
Suatu hal yang konkret, solid?
Terbuai dalam khayalan ternyata,
Itu yang kurasa, yang ku damba
Sayup-sayup kecemburuan,
Dentang-denting jam jiwa
Terus menggodaku
Bangsat,
Mati pula aku
17 April 2016
Puas diri puas dada
Hati ini bersandiwara
Dengan bebas dengan lugas
Kutebar fitnah dengan luas
Mati lampu mati aku
Lewat cermin aku tertunduk malu
Pulanglah kau wahai jiwaku
Yang telah melanglang terlalu jauh
Temani aku dalam sendu
Dalam sandiwara ku tertunduk peluh
Lelah ku berbohong
Lelah ku tersenyum
Raut muka penuh dusta
Yang di masa depan nanti
Mana lah ada dia berguna
Terlanjur sudah
Hati ini puas bicara
Dalam sandiwara, dengan lugas
Kutebar fitnah dengan luas
Hati ini bersandiwara
Dengan bebas dengan lugas
Kutebar fitnah dengan luas
Mati lampu mati aku
Lewat cermin aku tertunduk malu
Pulanglah kau wahai jiwaku
Yang telah melanglang terlalu jauh
Temani aku dalam sendu
Dalam sandiwara ku tertunduk peluh
Lelah ku berbohong
Lelah ku tersenyum
Raut muka penuh dusta
Yang di masa depan nanti
Mana lah ada dia berguna
Terlanjur sudah
Hati ini puas bicara
Dalam sandiwara, dengan lugas
Kutebar fitnah dengan luas
1 Mei 2016
Langit-langit putih di hadapan muka
Terbangun aku dari mimpi siangku
Terjatuh aku dari tempat tidurku
Teringat kau pernah pula berada
Di dalam genggamanku
Jauh pula kau datang
Lama pula ku tunggu
Bahkan terlalu lama
Sampai ku tak sadar
Kau hanya numpang transit di diriku
Apa daya aku, kulihat kau menjauh
Aku layaknya pedagang asongan terminal
Yang bahkan kau lupakan, kau tinggalkan
Uang kembalianmu yang bernominal besar
Sehingga ku hanya bisa
Berterima kasih dalam hati
1 Mei 2016
Terbangun aku dari mimpi siangku
Terjatuh aku dari tempat tidurku
Teringat kau pernah pula berada
Di dalam genggamanku
Jauh pula kau datang
Lama pula ku tunggu
Bahkan terlalu lama
Sampai ku tak sadar
Kau hanya numpang transit di diriku
Apa daya aku, kulihat kau menjauh
Aku layaknya pedagang asongan terminal
Yang bahkan kau lupakan, kau tinggalkan
Uang kembalianmu yang bernominal besar
Sehingga ku hanya bisa
Berterima kasih dalam hati
1 Mei 2016
Kenapa pula ada orang macam kau
Oo diriku yang menyesal
Tegarlah wahai engkau,
Oo diriku yang terbuang
Di depan jalan menanti.
Kadang memang hidup bisa adil
Macam turun gigi dulu sebelum menanjak
Puncak pun akan kau gapai,
Oo diriku yang kehilangan arah
Pergilah kau wahai diriku
Rentangkan sayap kuatmu
Bagai sayap rajawali siap touring
Siap melaju bagai cheetah
Diriku, siapkah engkau berjalan?
Kugopoh dirimu tanpa makna
Karena mana ada macam itu
Tapi itulah kita, siap pula kita
Memberi sesuatu yang beda
Mewarnai bumi kita
Berpartisipasi dalam kehidupan
Oo diriku yang menyesal
Tegarlah wahai engkau,
Oo diriku yang terbuang
Di depan jalan menanti.
Kadang memang hidup bisa adil
Macam turun gigi dulu sebelum menanjak
Puncak pun akan kau gapai,
Oo diriku yang kehilangan arah
Pergilah kau wahai diriku
Rentangkan sayap kuatmu
Bagai sayap rajawali siap touring
Siap melaju bagai cheetah
Diriku, siapkah engkau berjalan?
Kugopoh dirimu tanpa makna
Karena mana ada macam itu
Tapi itulah kita, siap pula kita
Memberi sesuatu yang beda
Mewarnai bumi kita
Berpartisipasi dalam kehidupan
Saat ekspektasi tak sesuai
Asa menghianati diri yang terbuai
Asal karena diripun salah mulai
Jegang terpegan
Kau hanya bisa menikmati
Entah manis atau pahit
Berdiri menatapi, dan meratapi
Maafkan aku kawan
Karena telah memaksamu mencicipi
Sebagian dari banyaknya rasa kehidupan
Karena kuberikan kepada engkau
Potongan yang pahit,
Dan tertegun pula kau, kawan
Dimana salahnya ada di saya
Sah pula kau tuduh saya
Karena salahnya di saya
Karena itulah kehidupan
21 Mei 2016
Asa menghianati diri yang terbuai
Asal karena diripun salah mulai
Jegang terpegan
Kau hanya bisa menikmati
Entah manis atau pahit
Berdiri menatapi, dan meratapi
Maafkan aku kawan
Karena telah memaksamu mencicipi
Sebagian dari banyaknya rasa kehidupan
Karena kuberikan kepada engkau
Potongan yang pahit,
Dan tertegun pula kau, kawan
Dimana salahnya ada di saya
Sah pula kau tuduh saya
Karena salahnya di saya
Karena itulah kehidupan
21 Mei 2016
Kuceritakan pada kalian isi lemariku
Aku punya banyak baju..
Baju-baju yang kukenakan saat berjalan bertemu orang2. Baju yang kuhiasi dengan renda-renda keramahtamahan yang usang dan murahan. Dibeli dengan harga yang tak seberapa demi untung bagi diriku
Baju-baju yang kugunakan saat sendiri, baju yang menunjukkan bagaimana kelak kuharap aku akan menjadi, dihiasi sablon hitam kelam namun dalam penuh mimpi, dengan jargon-jargon penuh ego dan ambisi.
Namun terlipat rapi tak tersentuh. Ditaruh di pojokan dan lipatan paling bawah diantara yang lain. Tak pernah kuambil.
Baju-baju yang sering kuambil hanyalah yang paling atas. Yang paling sering kupakai adalah baju-baju sebagai wajah yang orang-orang inginkan, harapkan dari aku sebagaimana dunia mengizinkan.
Yang selalu terkena noda-noda kehidupan, tetapi pula akan hilang lagi setelah tercuci oleh pembersih jiwa, cap pelarut lara,
Tetapi yah, kotor-kotor lagi akhirnya.
Tibalah saatnya aku harus merantau. Menjauh dari lingkungan yang telah hapal dengan semua pakaianku. Terpikirlah membawa baju-baju spesial namun murahan tersebut.
Namu yang kubutuhkan adalah baju baru. Baju-baju yang sudah usang, terasa gatal bila melekat pada badanku.
Maka telanjanglah aku, selama perjalanan, baju-baju baru tersebut terajut dan terjahit dengan sendirinya. Terlipat rapih di koperku.
Maka penuhlah koperku. Dengan baju-baju baru yang tak sabar akan ku kenakan. Menumpuklah mereka di lipatan paling atas,
Diatas baju-baju yang taburkan rasa sentimen, yang penuh dengan mimpi-mimpi yang belum teraih, karena tak ada yang tak suka menjadi diri sendiri.
27 Mei 2016
Aku punya banyak baju..
Baju-baju yang kukenakan saat berjalan bertemu orang2. Baju yang kuhiasi dengan renda-renda keramahtamahan yang usang dan murahan. Dibeli dengan harga yang tak seberapa demi untung bagi diriku
Baju-baju yang kugunakan saat sendiri, baju yang menunjukkan bagaimana kelak kuharap aku akan menjadi, dihiasi sablon hitam kelam namun dalam penuh mimpi, dengan jargon-jargon penuh ego dan ambisi.
Namun terlipat rapi tak tersentuh. Ditaruh di pojokan dan lipatan paling bawah diantara yang lain. Tak pernah kuambil.
Baju-baju yang sering kuambil hanyalah yang paling atas. Yang paling sering kupakai adalah baju-baju sebagai wajah yang orang-orang inginkan, harapkan dari aku sebagaimana dunia mengizinkan.
Yang selalu terkena noda-noda kehidupan, tetapi pula akan hilang lagi setelah tercuci oleh pembersih jiwa, cap pelarut lara,
Tetapi yah, kotor-kotor lagi akhirnya.
Tibalah saatnya aku harus merantau. Menjauh dari lingkungan yang telah hapal dengan semua pakaianku. Terpikirlah membawa baju-baju spesial namun murahan tersebut.
Namu yang kubutuhkan adalah baju baru. Baju-baju yang sudah usang, terasa gatal bila melekat pada badanku.
Maka telanjanglah aku, selama perjalanan, baju-baju baru tersebut terajut dan terjahit dengan sendirinya. Terlipat rapih di koperku.
Maka penuhlah koperku. Dengan baju-baju baru yang tak sabar akan ku kenakan. Menumpuklah mereka di lipatan paling atas,
Diatas baju-baju yang taburkan rasa sentimen, yang penuh dengan mimpi-mimpi yang belum teraih, karena tak ada yang tak suka menjadi diri sendiri.
27 Mei 2016
hingga mampus menembus jantungmu
sampai lupus harapan dada terelus
layak tikus mengerat gabus
hingga bunyi mencicit pangkat dua
kutembus apa yang tak mungkin
kudobrak jiwa-jiwa tradisional mereka
kurombak doktrin yang tlah berumur
kudaki dan ku berpijak pada gunung
pada gunung kemustahilan
dalam gapaian namun tak bisa diraih
dalam penglihatan tapi buta jua
dirasakan tetapi hampa
dinding es penuh dusta ilusi yang fana
putus asalah aku bercucuran airmata
menyakiti bentuk fisik dari tubuhku
agar kesengsaraan mental tak seberapa
agar biasa terhadap tekanan, kegilaan
kemunafikan
apakah aku terhadap dia
terhadap keluarga?
terhadap norma?
terhadap agama?
atau terhadap,
diriku sendiri?
11 Juni 2016
sampai lupus harapan dada terelus
layak tikus mengerat gabus
hingga bunyi mencicit pangkat dua
kutembus apa yang tak mungkin
kudobrak jiwa-jiwa tradisional mereka
kurombak doktrin yang tlah berumur
kudaki dan ku berpijak pada gunung
pada gunung kemustahilan
dalam gapaian namun tak bisa diraih
dalam penglihatan tapi buta jua
dirasakan tetapi hampa
dinding es penuh dusta ilusi yang fana
putus asalah aku bercucuran airmata
menyakiti bentuk fisik dari tubuhku
agar kesengsaraan mental tak seberapa
agar biasa terhadap tekanan, kegilaan
kemunafikan
apakah aku terhadap dia
terhadap keluarga?
terhadap norma?
terhadap agama?
atau terhadap,
diriku sendiri?
11 Juni 2016
Eksistensi
apa jadinya punya bukti visual diam maupun bergerak
tanpa makna sedikitpun
lain cerita dengan cerita
epos dan saga lambat laun menjadi legenda
lain lagi bila tertulis.
maka manusia akan mengenangmu, di dalam maupun di luar kepala
mencatat momen, tanpa kau besertanya,
tak apalah. hanya kau yang mengenangnya
diam-diam dalam kesendirian, dirimu tersenyum kecil
karena yang tidak normal, telah dinormalkan
dan sebelum mati, kau sadar
that the odd and insane is the most sane after all
12 Agustus 2016
tanpa makna sedikitpun
lain cerita dengan cerita
epos dan saga lambat laun menjadi legenda
lain lagi bila tertulis.
maka manusia akan mengenangmu, di dalam maupun di luar kepala
mencatat momen, tanpa kau besertanya,
tak apalah. hanya kau yang mengenangnya
diam-diam dalam kesendirian, dirimu tersenyum kecil
karena yang tidak normal, telah dinormalkan
dan sebelum mati, kau sadar
that the odd and insane is the most sane after all
12 Agustus 2016
Pintu
Jeruji besi maupun dinding kayu
setiap ruang yang kau tuju
bukan tempat, kecuali megah
dengan kaku dan kakimu
engkau selalu berlalu
diam
tak disadari, sampai kau terkunci
betapa nyaman kalau kau terbuka
jangan tutup rapat dirimu
walau privasi hakmu jua
asa
layak jiwa yang bobrok, patut diketuk
intip dahulu, jangan terayu
buka perlahan, buka dengan antusias
apa bedanya, antara kau atau dia
yang melangkah
megah, bila kau memang hanya simbol
apa pula simbol, bernama, tersohor
tapi tanpa guna, tertutup senantiasa
mengurung jiwa, kerengkeng hati
tak bisa meraih apa yang terdapat dibaliknya
pulang pergi, kau lewati begitu saja
walau sewindu kau lupa,
tanpa sadar
dia berjasa
13 Agustus 2016
setiap ruang yang kau tuju
bukan tempat, kecuali megah
dengan kaku dan kakimu
engkau selalu berlalu
diam
tak disadari, sampai kau terkunci
betapa nyaman kalau kau terbuka
jangan tutup rapat dirimu
walau privasi hakmu jua
asa
layak jiwa yang bobrok, patut diketuk
intip dahulu, jangan terayu
buka perlahan, buka dengan antusias
apa bedanya, antara kau atau dia
yang melangkah
megah, bila kau memang hanya simbol
apa pula simbol, bernama, tersohor
tapi tanpa guna, tertutup senantiasa
mengurung jiwa, kerengkeng hati
tak bisa meraih apa yang terdapat dibaliknya
pulang pergi, kau lewati begitu saja
walau sewindu kau lupa,
tanpa sadar
dia berjasa
13 Agustus 2016
dengan karet dan mesinnya,
dengan bahan bakar dan kegesitannya
dengan pengetahuan dan kemampuan
dengan segala apa yang kau lihat di depan
dirimu mampu mengitari kota yang belum kau tahu
aspal yang asing segera familiar
udara yang kau hisap mulai biasa
lalu kau sadar,
walau kau bisa kemana-mana,
ke tempat, jalan, yang kau inginkan
bukanlah yang benar-benar yang kau damba
walau bebas untuk pergi, nyatanya
kau tak bisa kembali
lalu dalam diam
terpancur air mata
jeritan keras dalam dada
dalam keabstrakan,
betapa ingin kau pulang
hidup bak musik
kau menari saat ia berputar
bukan kau simpan, untuk nanti
lalu terkenang hanya, dalam mimpi
Malang, saat menikmati kota dan kampus baru
27 Agustus 2016
dengan bahan bakar dan kegesitannya
dengan pengetahuan dan kemampuan
dengan segala apa yang kau lihat di depan
dirimu mampu mengitari kota yang belum kau tahu
aspal yang asing segera familiar
udara yang kau hisap mulai biasa
lalu kau sadar,
walau kau bisa kemana-mana,
ke tempat, jalan, yang kau inginkan
bukanlah yang benar-benar yang kau damba
walau bebas untuk pergi, nyatanya
kau tak bisa kembali
lalu dalam diam
terpancur air mata
jeritan keras dalam dada
dalam keabstrakan,
betapa ingin kau pulang
hidup bak musik
kau menari saat ia berputar
bukan kau simpan, untuk nanti
lalu terkenang hanya, dalam mimpi
Malang, saat menikmati kota dan kampus baru
27 Agustus 2016
Ideologi Sederhana
Diriku tanpa isi perut
tapi kenyang akan tatapan hinamu
tengkorakku tanpa otak
tapi penuh akan ideologi
ideologi yang tak mampu kau nikmati
yang tak mampu kau cerna
yang tak mampu kau jalani
demi kaki yang menapaki
demi tangan yang terbentang
kedua alat gerakmu itu
tak bisa mencapai diriku
perintah lah semaumu. yakinkan kau yang terbaik
menonjol bak perut buncit
membuatmu ambigu
antara berwibawa, atau makan uang warga
ideologi ku tak untuk orang awam
hanya yang ingin, bukan yang tak peduli
bukan yang mencibir dan menganggap sampah
atau yang menganggap tinggi dan bijaksana
ideologiku sangat sederhana
tak diraih oleh perilaku hedonmu itu
tak diraih dengan cara mengemis kepadaku
sangat sederhana sehingga kau tak tahu
maka silahkan benci aku, silahkan anggap
bahwa aku tak ada, bukan siapa-siapa
demi alat gerakmu tadi
kau tak bisa meraihku untuk kedua kali
3 September 2016
tapi kenyang akan tatapan hinamu
tengkorakku tanpa otak
tapi penuh akan ideologi
ideologi yang tak mampu kau nikmati
yang tak mampu kau cerna
yang tak mampu kau jalani
demi kaki yang menapaki
demi tangan yang terbentang
kedua alat gerakmu itu
tak bisa mencapai diriku
perintah lah semaumu. yakinkan kau yang terbaik
menonjol bak perut buncit
membuatmu ambigu
antara berwibawa, atau makan uang warga
ideologi ku tak untuk orang awam
hanya yang ingin, bukan yang tak peduli
bukan yang mencibir dan menganggap sampah
atau yang menganggap tinggi dan bijaksana
ideologiku sangat sederhana
tak diraih oleh perilaku hedonmu itu
tak diraih dengan cara mengemis kepadaku
sangat sederhana sehingga kau tak tahu
maka silahkan benci aku, silahkan anggap
bahwa aku tak ada, bukan siapa-siapa
demi alat gerakmu tadi
kau tak bisa meraihku untuk kedua kali
3 September 2016
dalam jasmani yang termakan masa
dalam era dimana kau merasa
dikonsumsi kehidupan
namun sukma, senantiasa bertahan
dalam tubuh yang sakit-sakitan
diterpa angin kecemburuan
kepada mereka yang sehat
namun dalam kemelaratan, senantiasa bertahan
seiring waktu berjalan
persetan usahamu
kalau mati ya sudah
tolong matikan ragaku
tak perlu kau ingat-ingat rohku
17 September 2016
dalam era dimana kau merasa
dikonsumsi kehidupan
namun sukma, senantiasa bertahan
dalam tubuh yang sakit-sakitan
diterpa angin kecemburuan
kepada mereka yang sehat
namun dalam kemelaratan, senantiasa bertahan
seiring waktu berjalan
persetan usahamu
kalau mati ya sudah
tolong matikan ragaku
tak perlu kau ingat-ingat rohku
17 September 2016
Terpendam di Atas
terpendam di atas
jalan sepi tanpa tapak kaki
tanpa ban yang berdecit
diatas aspal terpendam sunyi
dalam hati penuh isi dan isu
merajut asa dalam suka dan duka
dalam hati penuh rasa
dalam pikiran kosong
terpendam oleh keluapan,
ekstrak daripada hati
diatas kepala terpendam oleh rasa
menjalin kasih
menyatakan isi
membuat kisah
meniadakan sepi
apa daya telah lewat 365 hari
tersimpan dalam memori
sebatas guratan pena,
yang tak ada arti
meniadakan namun mengadakan perih
sebatas jari melayang diatas layar
tuts semu output dari program
mengenang kisah nyata
walau hanya diatas layar
terpendam oleh notifikasi
diatas, terpendam
terpendam, diatas
hati-hati dengan lidah,
jiwa, ide, hati, raga.
bila meluap maka kau terpendam diatasnya
Malang, 10 Oktober 2016
jalan sepi tanpa tapak kaki
tanpa ban yang berdecit
diatas aspal terpendam sunyi
dalam hati penuh isi dan isu
merajut asa dalam suka dan duka
dalam hati penuh rasa
dalam pikiran kosong
terpendam oleh keluapan,
ekstrak daripada hati
diatas kepala terpendam oleh rasa
menjalin kasih
menyatakan isi
membuat kisah
meniadakan sepi
apa daya telah lewat 365 hari
tersimpan dalam memori
sebatas guratan pena,
yang tak ada arti
meniadakan namun mengadakan perih
sebatas jari melayang diatas layar
tuts semu output dari program
mengenang kisah nyata
walau hanya diatas layar
terpendam oleh notifikasi
diatas, terpendam
terpendam, diatas
hati-hati dengan lidah,
jiwa, ide, hati, raga.
bila meluap maka kau terpendam diatasnya
Malang, 10 Oktober 2016
dalam sendiri ku menemani
menemani diri yang sendiri
muntah kemudian menelannya kembali
agar tak meninggalkan jejak sama sekali
sampah! hei diri yang terhina!
cucilah dirimu dengan air mata
terbakar dalam larutan sukacita
membuat perih luka terkena basa
diam! biar kami berbicara!
walaupun harus kami telan kembali kata-kata
terbuai dalam masalah
asa hilang tak tersampaikan
maka bergeraklah
lawan hedon!
lawan elitis!
lawan apatis!
bila tidak, apa makna totalitas perjuangan
kembali ku beritahu,
janganlah kau merasa gampang
karena kegelimpangan harta,
kemudahan,
dan kekosongan waktu,
adalah hal yang merusak seorang pemuda
24 Oktober 2016
menemani diri yang sendiri
muntah kemudian menelannya kembali
agar tak meninggalkan jejak sama sekali
sampah! hei diri yang terhina!
cucilah dirimu dengan air mata
terbakar dalam larutan sukacita
membuat perih luka terkena basa
diam! biar kami berbicara!
walaupun harus kami telan kembali kata-kata
terbuai dalam masalah
asa hilang tak tersampaikan
maka bergeraklah
lawan hedon!
lawan elitis!
lawan apatis!
bila tidak, apa makna totalitas perjuangan
kembali ku beritahu,
janganlah kau merasa gampang
karena kegelimpangan harta,
kemudahan,
dan kekosongan waktu,
adalah hal yang merusak seorang pemuda
24 Oktober 2016
Benderang Namun Tak Tampak
Benderang Namun Tak Tampak
memanjangkan suatu perihal
memendekkan jangkauan
pendatang terbuang
penguasa merajalela
memenuhi perkumpulan
ingin kucuri hijau
karena warna tersebut lah
yang menyebabkan mereka "gaspol"
ingin pula kucuri merah
agar tak celaka karena tergesa-gesa
namun apa pula daya si kuning
tak dianggap, hanya membuat orang
semakin tergesa, semakin waspada,
tatkala merah menampakkan cahayanya
kebutuhan fisiologis diatas keamanan diri
begitu Abraham Maslow berkata
gaspol dan memasukkan gigi pun terlaksana
walau kuning muncul tak sampai sedetik
bersiap memacu diri masing-masing
dalam kuning, hijaulah yang dinanti
hei kuning! mengapa kau tercipta?
apa korelasi daripada keadaanmu?
dianalogikan sebagai apakah engkau?
merah hijau sudah berlawanan
namun tetap pula kau
kontra terhadap keduanya
hei kuning! perlukah kau disini?
hei kuning! perlukah kau ada?
begitulah yang ku tanyakan pada diriku sendiri
28 Oktober 2016
*Saya suka warna kuning yang hangat temaram.
memanjangkan suatu perihal
memendekkan jangkauan
pendatang terbuang
penguasa merajalela
memenuhi perkumpulan
ingin kucuri hijau
karena warna tersebut lah
yang menyebabkan mereka "gaspol"
ingin pula kucuri merah
agar tak celaka karena tergesa-gesa
namun apa pula daya si kuning
tak dianggap, hanya membuat orang
semakin tergesa, semakin waspada,
tatkala merah menampakkan cahayanya
kebutuhan fisiologis diatas keamanan diri
begitu Abraham Maslow berkata
gaspol dan memasukkan gigi pun terlaksana
walau kuning muncul tak sampai sedetik
bersiap memacu diri masing-masing
dalam kuning, hijaulah yang dinanti
hei kuning! mengapa kau tercipta?
apa korelasi daripada keadaanmu?
dianalogikan sebagai apakah engkau?
merah hijau sudah berlawanan
namun tetap pula kau
kontra terhadap keduanya
hei kuning! perlukah kau disini?
hei kuning! perlukah kau ada?
begitulah yang ku tanyakan pada diriku sendiri
28 Oktober 2016
*Saya suka warna kuning yang hangat temaram.
dalam dalam dalam
gelap dalam terang
ceria mendalam
dengan terang
menutupi kesedihan
kelam kelam kelam
dalam kelam ku tenggelam
tenggelam
menyelam
terlalu terang
terlalu riang
dunia
dengan segala keadaannya
seimbang dengan tidak adil
ketidak adilannya membuat buhul
buhul menyatukan semuanya
dalam dunia kita fana
dengan jantung yang berdetak
dengan nafas yang mengembuskan
dengan ginjal yang mengeluarkan
dengan lambung yang menghancurkan
satu dalam ekuilibrum yang rumit
rahasia tuhan yang pelit
yang membuat kita diam
walau kita jua bergerak
diam, gelap, mati,
kata-kata tersebutlah
yang akan terealisasi
bila sampai waktunya
sampai jumpa kehidupan
15 Januari 2017
gelap dalam terang
ceria mendalam
dengan terang
menutupi kesedihan
kelam kelam kelam
dalam kelam ku tenggelam
tenggelam
menyelam
terlalu terang
terlalu riang
dunia
dengan segala keadaannya
seimbang dengan tidak adil
ketidak adilannya membuat buhul
buhul menyatukan semuanya
dalam dunia kita fana
dengan jantung yang berdetak
dengan nafas yang mengembuskan
dengan ginjal yang mengeluarkan
dengan lambung yang menghancurkan
satu dalam ekuilibrum yang rumit
rahasia tuhan yang pelit
yang membuat kita diam
walau kita jua bergerak
diam, gelap, mati,
kata-kata tersebutlah
yang akan terealisasi
bila sampai waktunya
sampai jumpa kehidupan
15 Januari 2017
kembali
pergi pulang jalan tenang
duduk diam dada ruam
tidur lelap dengkur gelap
bangun
dan mengulanginya
sampai mati
hanya membawa nama, sisa
tiada yang menemani
tanpa berpulang
tanpa penaruh hati
tanpa wadah jiwa
seperti bertelanjang kaki
tiada seorang yang iba
pulang sebenar-benarnya
pulang lah
dimana hatimu bertambat
dimana keluargamu bersantap
dimana temanmu bercanda
dimana, engkau benar-benar ada
16 Januari 2017
*Seingat saya, ini saya buat di atas sepur.
pergi pulang jalan tenang
duduk diam dada ruam
tidur lelap dengkur gelap
bangun
dan mengulanginya
sampai mati
hanya membawa nama, sisa
tiada yang menemani
tanpa berpulang
tanpa penaruh hati
tanpa wadah jiwa
seperti bertelanjang kaki
tiada seorang yang iba
pulang sebenar-benarnya
pulang lah
dimana hatimu bertambat
dimana keluargamu bersantap
dimana temanmu bercanda
dimana, engkau benar-benar ada
16 Januari 2017
*Seingat saya, ini saya buat di atas sepur.
saat teduh
saat peluh
tunduh
gundah
membunuh,
secara perlahan
peluh, keluh
tambah banyak berjalan
aku yang tidak mampu
aku yang tidak mau
menghadapi itu
itu, adalah
kehidupan
kehidupan sendiri
kehidupan tanpa mimpi
lebih baik dalam mimpi
diam membatu
hai, ini aku
sudah mau pergi menjauh darimu
sampai jumpa kembali,
kehidupan yang kumimpi
kehidupan yang kudamba
kehidupan nyata senyata-nyatanya
saat peluh
tunduh
gundah
membunuh,
secara perlahan
peluh, keluh
tambah banyak berjalan
aku yang tidak mampu
aku yang tidak mau
menghadapi itu
itu, adalah
kehidupan
kehidupan sendiri
kehidupan tanpa mimpi
lebih baik dalam mimpi
diam membatu
hai, ini aku
sudah mau pergi menjauh darimu
sampai jumpa kembali,
kehidupan yang kumimpi
kehidupan yang kudamba
kehidupan nyata senyata-nyatanya
7 Februari 2017
Ya, terpakulah diriku menatap cahaya melalui ventilasi vertikal. Dalam pasif aku perlahan menikmati cahaya.
Haha tertawalah aku melihat diri sendiri lindang bak lilin. Lilin yang perlahan lindap, sama seperti cahaya yang kutatap, dengan lembut melarikan ke arah pantai dimana para mojang yang mejeng-mejeng menantikan senja.
Para mojang yang tanpa ada perasaan yang memburu selain sukacita. Mungkin saja karena mereka bersama teman-teman yang hanya sebatas menghabiskan waktu di sore. Atau menghabiskannya bersama korban cinta monyetnya masing-masing. karena jarang sekali diantara mereka yang menikmati kesendirian dalam keramaian.
Mungkin juga dipenuhi oleh para pedagang kaki lima maupun asongan, penjaja jasa diantara mereka. Ada yang berteriak-teriak, supaya ada yang terenyuh mendengar panggilannya, ataupun hanya untuk memikat seorang anak kecil dengan segala kebutuhannya (atau kemauannya?), ada yang hanya berduduk santai, menyapukan pandangan ke sekitar pesisir, mengeker calon pelanggan, atau hanya sebatas ikut dalam euforia pantai yang menuju senja.
Dan ya, dalam lindap kelam sekitarku, aku hanya terdiam menatap tralis besi ventilasi, karena satu-satunya sumber cahaya bayan cerah yang kontras dari situlah membuatku terdiam. seolah-olah diterpa terik lembut sinar senja.
Bandung, 9 Februari 2017
Haha tertawalah aku melihat diri sendiri lindang bak lilin. Lilin yang perlahan lindap, sama seperti cahaya yang kutatap, dengan lembut melarikan ke arah pantai dimana para mojang yang mejeng-mejeng menantikan senja.
Para mojang yang tanpa ada perasaan yang memburu selain sukacita. Mungkin saja karena mereka bersama teman-teman yang hanya sebatas menghabiskan waktu di sore. Atau menghabiskannya bersama korban cinta monyetnya masing-masing. karena jarang sekali diantara mereka yang menikmati kesendirian dalam keramaian.
Mungkin juga dipenuhi oleh para pedagang kaki lima maupun asongan, penjaja jasa diantara mereka. Ada yang berteriak-teriak, supaya ada yang terenyuh mendengar panggilannya, ataupun hanya untuk memikat seorang anak kecil dengan segala kebutuhannya (atau kemauannya?), ada yang hanya berduduk santai, menyapukan pandangan ke sekitar pesisir, mengeker calon pelanggan, atau hanya sebatas ikut dalam euforia pantai yang menuju senja.
Dan ya, dalam lindap kelam sekitarku, aku hanya terdiam menatap tralis besi ventilasi, karena satu-satunya sumber cahaya bayan cerah yang kontras dari situlah membuatku terdiam. seolah-olah diterpa terik lembut sinar senja.
Bandung, 9 Februari 2017
mataku hanya melihatnya tak sampai lima menit dalam satu tahun ini
tapi ratusan kilometer membuat bayangannya semakin
memenuhi kepala
makin kau pikir makin terkonsumsi kau olehnya
terbakar sendiri, menanti datangnya keajaiban
mati, mati, mati
karena ia hanya setitik
tetapi titik yang besar
dalam lautan asa yang
tak terbendung untuk menjadi nyata
14 Februari 2017
tapi ratusan kilometer membuat bayangannya semakin
memenuhi kepala
makin kau pikir makin terkonsumsi kau olehnya
terbakar sendiri, menanti datangnya keajaiban
mati, mati, mati
karena ia hanya setitik
tetapi titik yang besar
dalam lautan asa yang
tak terbendung untuk menjadi nyata
14 Februari 2017
dalam tanah ia sembunyi
selamanya terkubur
mayat membusuk penuh cacing
diam diam ia bersyukur
karena akan menemui Tuhannya
tidak menemui cacing-cacing bertangan
yang senantiasa menggeliat
dengan dusta mereka
lebih baik dalam tanah
dengan serangga-serangga
dan juga siksa malaikat
karena lebih sakit diatas sana
karena tak bisa menjadi diri sendiri
harus terpaku pada ideologi
harus punya yang namanya ekonomi
sehingga ia bersyukur
dan mendoakan kepada mereka
yang mendambakan aktualisasi diri
agar mati
lalu ia bergurau dengan penyiksa kubur
"hahaha sukurin lu pada masih idup!" ucapnya
15 Februari 2017
selamanya terkubur
mayat membusuk penuh cacing
diam diam ia bersyukur
karena akan menemui Tuhannya
tidak menemui cacing-cacing bertangan
yang senantiasa menggeliat
dengan dusta mereka
lebih baik dalam tanah
dengan serangga-serangga
dan juga siksa malaikat
karena lebih sakit diatas sana
karena tak bisa menjadi diri sendiri
harus terpaku pada ideologi
harus punya yang namanya ekonomi
sehingga ia bersyukur
dan mendoakan kepada mereka
yang mendambakan aktualisasi diri
agar mati
lalu ia bergurau dengan penyiksa kubur
"hahaha sukurin lu pada masih idup!" ucapnya
15 Februari 2017
mana bias dalam matamu
mana bisa aku bahkan tuk melihatmu
aspal dan rel kujajal
angkasa kukelana
gunung kusinggahi
pantai kususuri
hanya untuk menoleh kepadamu sekali
hanya kata kotor yang mampu terucapkan
pahit sudah mulutku
karena memberi janji palsu kepada diri sendiri
banting aku! bunuh fisikku!
karena dadaku sudah bijak dengan sesak
kepala penuh mimpi dan asa biadab tak terealisasi
karena dalam realita
aku bukan salah satu daripada perkumpulanmu
20 Februari 2017
mana bisa aku bahkan tuk melihatmu
aspal dan rel kujajal
angkasa kukelana
gunung kusinggahi
pantai kususuri
hanya untuk menoleh kepadamu sekali
hanya kata kotor yang mampu terucapkan
pahit sudah mulutku
karena memberi janji palsu kepada diri sendiri
banting aku! bunuh fisikku!
karena dadaku sudah bijak dengan sesak
kepala penuh mimpi dan asa biadab tak terealisasi
karena dalam realita
aku bukan salah satu daripada perkumpulanmu
20 Februari 2017
Cicipan
I
jatuh rintik setitik
palingkan hinggapan di lembah pelik
haha layak hati dalam paceklik
sayang bait ini berakhir dengan koma
II
tercampur perisa almond, tiramisu
tambah lagi gula, tambah pula susu
kodratnya memang melambangkanku
tak peduli dicampur apa
aslinya kopi ya hitam dan pahit
III
pangan yang dipanggang
dengan bumbu eksotik nan penuh rasa
sedap rasa, sedap di mata
tak terpikir oleh mereka
bara yang terbakar panas
dengan panas dan asap
yang karena itu dibenci pula Ia
jatuh rintik setitik
palingkan hinggapan di lembah pelik
haha layak hati dalam paceklik
sayang bait ini berakhir dengan koma
II
tercampur perisa almond, tiramisu
tambah lagi gula, tambah pula susu
kodratnya memang melambangkanku
tak peduli dicampur apa
aslinya kopi ya hitam dan pahit
III
pangan yang dipanggang
dengan bumbu eksotik nan penuh rasa
sedap rasa, sedap di mata
tak terpikir oleh mereka
bara yang terbakar panas
dengan panas dan asap
yang karena itu dibenci pula Ia
Minggatlah Rasa
Ingin kembali bertemu denganmu dalam mimpi
tapi masalahnya
tiap kututup mata
ada pula kau disana
dalam hati ingin terpulas
dalam sadar jua ku terjaga
oy penyakit dalam paru
sesak kupikir dirimu
gurih namun terlalu asin pikiran
memang kamu bahaya
layaknya micin
bikin goblok
Malang, 26 April 2017
*Pakai judul karena tulisan yang ini tidak mengandung semua isi hati
tapi masalahnya
tiap kututup mata
ada pula kau disana
dalam hati ingin terpulas
dalam sadar jua ku terjaga
oy penyakit dalam paru
sesak kupikir dirimu
gurih namun terlalu asin pikiran
memang kamu bahaya
layaknya micin
bikin goblok
Malang, 26 April 2017
*Pakai judul karena tulisan yang ini tidak mengandung semua isi hati
estetika
-----
-
-
-
-
ia selalu punya bayangan besar
sedikit pula daripada manusia yang menerima
tak ada bagus atau jelek
berharga atau tidak
hanya kepenuhan rasa dan paham
menggugah manis dalam masam
kertas kado yang membungkus sampah
biji kopi di kotoran luwak
mengapa banyak para seniman menyembunyikan kritik dalam seni?
toilet aja dibagus-bagusin walaupun fungsinya untuk buang hajat.
kalau kalian mau berak juga kan pasti ditahan. bukan dibuang mentah-mentah di depan publik. bukan untuk disebar ke publik kalau kalian lagi berak.
Malang, 14 Juni 2017
-----
-
-
-
-
ia selalu punya bayangan besar
sedikit pula daripada manusia yang menerima
tak ada bagus atau jelek
berharga atau tidak
hanya kepenuhan rasa dan paham
menggugah manis dalam masam
kertas kado yang membungkus sampah
biji kopi di kotoran luwak
mengapa banyak para seniman menyembunyikan kritik dalam seni?
toilet aja dibagus-bagusin walaupun fungsinya untuk buang hajat.
kalau kalian mau berak juga kan pasti ditahan. bukan dibuang mentah-mentah di depan publik. bukan untuk disebar ke publik kalau kalian lagi berak.
Malang, 14 Juni 2017
ditengah lampu jalanan ia terang.
ditengah gudang iya belang.
dalam bayang bayang iya hilang.
karena satu indera tak bisa menentukan
apakah sesuatu itu
ada atau tiada.
karena satu sisi tak bisa
melihat keseluruhan.
maka masuklah kedalamnya.
dari dalam
kau gapai semua sudut pandang.
tapi tetap jua, bila sekadar mata
hanya satu sisi di satu saat.
ya maka itu kawan
jangan lupa
inderamu masih banyak
Malang, 4 Juli 2017
ditengah gudang iya belang.
dalam bayang bayang iya hilang.
karena satu indera tak bisa menentukan
apakah sesuatu itu
ada atau tiada.
karena satu sisi tak bisa
melihat keseluruhan.
maka masuklah kedalamnya.
dari dalam
kau gapai semua sudut pandang.
tapi tetap jua, bila sekadar mata
hanya satu sisi di satu saat.
ya maka itu kawan
jangan lupa
inderamu masih banyak
Malang, 4 Juli 2017
maka ia larut karena ia lebih padat daripada sekelilingnya, agar mempunyai satu warna, mama sesuailah mereka antar sesama
maka ia tak larut karena terlalu padat, sekelilingnya tak mampu menembusnya, karena tidak sesuai pula diantara keduanya,
seusai pula larut atau tidak, dari mata pula kalian menilai.
tabé' paké-paké lalo ki' itu hati ta'
maka ia tak larut karena terlalu padat, sekelilingnya tak mampu menembusnya, karena tidak sesuai pula diantara keduanya,
seusai pula larut atau tidak, dari mata pula kalian menilai.
tabé' paké-paké lalo ki' itu hati ta'
mengejar utopia dalam asa
bertutur karena diatur
terjun demi menyangkal alimun
bercinta ya tapi dosa
berkasih sayang omong kosong
padahal kemaluan kau teropong
cape juga menunggu, bung
ya daripada alim munafik
mendingan
stagnan dalam penantian
padahal hati dalam nestapa
rasa bergelegak lantaran tersekat
kelesahlah aku, karam
ketidaktahuan menutup batin
jatuh terbawa dusta
membohongi iman dan pencipta
mau diapa juga
bila tuhan kau ajak bersandiwara
padahal Ia yang memegang
Ia yang memasang
tali boneka setiap raga dan rasa
- hambaNya yang belum berpasangan
Malang, 21 Juli 2017
bertutur karena diatur
terjun demi menyangkal alimun
bercinta ya tapi dosa
berkasih sayang omong kosong
padahal kemaluan kau teropong
cape juga menunggu, bung
ya daripada alim munafik
mendingan
stagnan dalam penantian
padahal hati dalam nestapa
rasa bergelegak lantaran tersekat
kelesahlah aku, karam
ketidaktahuan menutup batin
jatuh terbawa dusta
membohongi iman dan pencipta
mau diapa juga
bila tuhan kau ajak bersandiwara
padahal Ia yang memegang
Ia yang memasang
tali boneka setiap raga dan rasa
- hambaNya yang belum berpasangan
Malang, 21 Juli 2017
Mula Lagi Biasa
Berbagai permulaan.
....lalu ia tenggelam dalam penyiksaan.
"Oh ini biasa" aku dirinya, walau ia tersedak, penuh kebohongan di tenggorokannya.
Sama dengan kerongkongannya. Ia isi pula dengan kebohongan. Bukan miliknya, namun cukup membuat kenyang diakhir bulan. Bualan memang kebutuhan yang setara pangan dan sandang, namun tak bisa menjadi papan.
Ia hidup pula. Ya memang lebih baik daripada mati diatas dipan gabus sediaan ibu kos. Daripada makan sampah yang dimana kita lebih tinggi derajatnya, bukankah lebih baik menjadikan diri menjadi sampah, setidaknya makanan kita lebih tinggi kastanya. Seperti banyak orang berkata kalau "engkau apa yang kau makan".
Daripada kelaparan di akhir bulan, walau entah apa yang ada di akhiran. Yah, setidaknya Ia melalui berbagai permulaan.
....lalu ia tenggelam dalam penyiksaan.
"Oh ini biasa" aku dirinya, walau ia tersedak, penuh kebohongan di tenggorokannya.
Sama dengan kerongkongannya. Ia isi pula dengan kebohongan. Bukan miliknya, namun cukup membuat kenyang diakhir bulan. Bualan memang kebutuhan yang setara pangan dan sandang, namun tak bisa menjadi papan.
Ia hidup pula. Ya memang lebih baik daripada mati diatas dipan gabus sediaan ibu kos. Daripada makan sampah yang dimana kita lebih tinggi derajatnya, bukankah lebih baik menjadikan diri menjadi sampah, setidaknya makanan kita lebih tinggi kastanya. Seperti banyak orang berkata kalau "engkau apa yang kau makan".
Daripada kelaparan di akhir bulan, walau entah apa yang ada di akhiran. Yah, setidaknya Ia melalui berbagai permulaan.
dunia bukan renjana semata
sementara hati-hati lemah dilema kata-kata
hati yang berkalimat berkemarau
laju terbenam di ujung Ia
karena kata menjadi ambarau
hati-hati merana mengemis tulisan
dengan mendayu-dayu
berkehendak menjadi layu
karena rasa memburu
peminta-minta cahaya
tak selamanya miskin
sebab orang yang tak punya
lantaran mereka tak merungut
hati-hati ruai mengambai-ambai
lalu mereka abai
kecuali menemukan tatkala
kertas nista bertuliskan "cinta"
Malang, 14 September 2017
sementara hati-hati lemah dilema kata-kata
hati yang berkalimat berkemarau
laju terbenam di ujung Ia
karena kata menjadi ambarau
hati-hati merana mengemis tulisan
dengan mendayu-dayu
berkehendak menjadi layu
karena rasa memburu
peminta-minta cahaya
tak selamanya miskin
sebab orang yang tak punya
lantaran mereka tak merungut
hati-hati ruai mengambai-ambai
lalu mereka abai
kecuali menemukan tatkala
kertas nista bertuliskan "cinta"
Malang, 14 September 2017
Langganan:
Postingan (Atom)